Label

Kamis, 10 November 2016

Resensi Novel Pertemuan Dua hati

Resensi Novel Pertemuan Dua Hati
Nh. Dini

 
http:/ /www.ilmubahasa.net/2015/01/cerita-novel-online-pertemuan-dua-hati.html
A.    Identitas Buku :
a. Judul                        : Pertemuan Dua hati
b. Penulis                     : Nh. Dini
c. Tahun Terbit            : 2003
d. Kota Terbit             : Jakartara

B.     Kepengarangan :
            Nh. Dini seorang sastrawan, novelis, dan feminis Indonesia yang lahir pada tanggal 29 Februari 1936 di Kota Semarang, Jawa Tengah. Beliau terlahir dari pasangan Saljowidjoo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara. Nh. Dini mengatakan Ia mulai tertarik untuk menulis semenjak kelas tiga SD dan ternyata Ia sebelumnya tidak bercita-cita sebagai penulis melainkan Ia bercita-cita menjadi seorang sopir lokomotif atau masinis. Tetapi keinginannya tidak kesampaian karena tidak menemukan sekolah bagi calon masinis kereta api. Setelah Ia tamat dari SMA bagian Sastra pada tahun 1956. Pada tahun 1956, Ia mengikuti Kursus Pramugari Darat GIA Jakarta dan pada tahun 1957, Ia mengikuti Kursus B-I Jurusan Sejarah. Tahun 1957-1960, Ia bekerja di GIA Kemayoran, Jakarta. Setelah Beliau menikah dengan suaminya, Yves Coffin, Ia berturut-turut bermukim di Jepang, Perancis, Amerika Serikat, dan menetap di Jakarta dan Semarang sejak tahun 1980.
C.     Sinopsis :
            Beberapa bulan yang lalu, sebuah keluarga Purmodadi yang terdiri dari Bu Suci, suaminya, tiga orang anak, dan bibinya dipindahkah ke kota besar Semarang karena suaminya dipindah tugaskan. Sehingga, mau tidak mau Bu Suci juga meninggalkan pekerjaannya sebagai guru di Purwodadi. Pekerjaan menjadi seorang guru bukanlah pilihan Bu Suci melainkan pilihan orang tuanya. Walaupun begitu Bu Suci tidak menyesal telah menuruti keinginan orang tuanya. Bu Suci malahan sangat menyukai karirnya sebagai seorang guru. Karena setiap hari Ia bisa berhadapan dengan anak-anak yang berlainan watak dan geraknya.
            Pada suatu hari Bu Suci menerima surat dari Kepala Sekolah tempat anaknya bersekolah. Bu suci diminta datang ke sekolah. Kepala Sekolah memberitahu bahwa Bu Suci akan membimbing dua kelas tiga yang keduanya dihubungkan oleh sebuah pintu samping. Untuk sementara waktu Bu Suci mengajar pagi sambil menunggu perkembangan. Dan memang kelas itulah yang menjadi tanggung jawab Bu Suci setelah guru-guru pulang dari penataran.
            Hari pertama mengajar Bu Suci memperkenalkan diri kepada murid-murid. Agar suasana menjadi lebih santai, Bu Suci menceritakan sedikit tentang karirnya sebagai guru. Bu Suci juga mengatakan berapa anaknya dan apa pekerjaan suaminya, tidak lupa juga Ia mengatakan bahwa anaknya juga bersekolah di sekolah tersebut. Berangsur-angsur keadaan menjadi sedikit lebih santai, Bu Suci membuka buku daftar nama. Bu suci memanggil seorang demi seorang. Untuk memudahkan mengingat, di samping setiap nama murid Ia member tanda. Ada lima deretan bangku memanjang. Dihitungnya nomor satu dari kiri ke kanan. Misalnya nama rusidah ditandai dengan pensil tulisan 3-te. Artinya, murid itu duduk di deretan bangku ke-3 di kelompok tengah.
            Hari demi hari pun berlalu, nama-nama murid pun mulai dikenal. Bahkan beberapa murid sudah dihafal tempat duduknya oleh Bu Suci. Hari itu murid yang bernama Waskito belum juga masuk semenjak dia mengajar kelas tersebut. Bu Suci pun bertanya kepada murid-murid di kelas itu dimana Waskito tinggal. Tetapi tidak ada yang menyahut. Setiap murid yang ditanya dimana tempat tinggal Waskito, semuanya menghindari pandangan Bu Suci yang membuat Ia semakin heran. Dan pada akhirnya ada siswa yang mengatakan bahwa Waskito adalah seorang anak nakal yang suka memukul dan menyakiti murid lainnya.
            Selama beberapa waktu Bu Suci membiarkan murid-muridnya berbincang antara mereka. Bu Suci mendengarkan dan mencoba mengerti. Kepala Sekolah atau guru lain yang pernah memegang kelas itu tidak memberitahukan perihal tentang murid sukar di kelas tersebut. Waktu istirahat tiba, Bu Suci mencari keterangan selengkap mungkin. Guru-guru yang pernah mengajar kelas itu mengetahui sedikit. Waskito memang dianggap sebagai anak yang tidak tetap, atau labil. Sifatnya selalu berubah.
            Bu Suci berusaha sedapat mungkin untuk memisahkan pekerjaan dari kehidupan keluarga. Tetapi kali itu sangat sulit baginya meneruskan kebiasaan tersebut. Barangkali karena Bu Suci merasa lemah menolak tantangan guna mencoba sesuatu yang baru. Mengikuti keterangan guru-guru yang mengenal Waskito, anak itu termasuk murid sukar jenis yang lain. Kekerasan-kekerasannya dapat membahayakan kelas.
            Urusan murid sukar belum selesai, Bu Suci harus memilih. Manakah yang lebih penting? Sepintas, tentu saja Bu Suci mementingkan anaknya daripada muridnya. Tetapi benarkah sikap itu? Benarkah pilihan itu ditekankan oleh suara hatinya yang sesungguhnya. Tarikan Waskito sedemikian besar bagi Bu Suci, karena jauh di lubuk hatinya, Ia menyadari bahwa Ia harus mencoba menolong anak itu. Demi meyelamatkan seorang calon anggota masyarakat. Pantaskah Ia mengabaikan Waskito, yang berarti Ia mengingkari tugas dalam karirnya? Akhirnya Bu Suci memilih anak dan murid, bukan anak atau murid. Bu Suci pun meminta kepada Tuhan, agar diberi kesempatan mencoba mencakup tugasnya di dua bidang. Sebagai ibu dan sebagai guru.
            Konon dalam keluarga Waskito terjadi perundingan. Tidak jelas bagaimana asal-usulnya., atau siapa yang mengusulkan pertemuan tersebut. Yang sangat menyenangkan hati Bu Suci ialah kali itu kabarnya, anak yang bersangkutan ditanya apa kemauannya. Kakak perempuan ibunya yang biasa dipanggil Bu De, ingin mengambil Waskito, meskipun anaknya sendiri tujuh orang.
            Bu Suci mencoba membuka hati anak-anak didiknya agar rela menerima Waskito jika dia kembali ke sekolah. Bersama mereka Bu Suci mencari dan meneliti sebab-sebab mengapa Waskito paling membenci murid yang bernama Wahyudi dan tiga atau empat anak tertentu. Bu Suci pun bertanya tentang kebiasaan-kebiasaan mereka setiap hari, dari waktu masuk hingga pulang. Bagaimana dan naik apa , bersama siapa mereka datang dan beraangkat kembali ke rumah masing-masing. Lalu Bu Suci dan anak-anak didiknya menemukan mengapa Waskito berbuat demikian. Waskito tidak mau menerima kenyataan bahwa anak-anak lain memiliki bapak yang memperhatikan, yang menyisihkan waktu, sampai-sampai membawa mereka di belakang kendaraan roda dua hingga pintu sekolah. Sedangkan dia, Waskito, yang mempunyai ayah seorang insinyur dan berkendaraan sedan, mengapa tidak pernah pergi ke sekolah bersamanya? Waskito dan adik-adiknya selalu dititipkan kepada sopir. Selalu disuruh berangkat lebih dahulu.
            Alangkah besar penderitaan batin Waskito. Bu Suci mencoba meyakinkan anak-anak didiknya bahwa jauh di lunuk hatinya, Waskito tidak membenci, seperti yang selalu dia katakana. Yang sebenarnya ialah dia merasa iri. Cara sebaiknya barangkali ialah dengan bersikap sebiasa mungkin. Menganggap kehadiran Waskito bukan sesuatu yang menyebalkan, tetapi juga bukan sesuatu yang istimewa.
            Demikian sebulan berlangsung. Bu Suci dapat tabah mengalami loncatan-loncatan kebiasaan Waskito yang sekali-sekali tenang, di lain saat, berturut-turut hingga beberapa hari mengganggu murid-murid lain. Demikian Bu Suci meneruskan pekerjaannya sebagai guru. Kali itu di kota besar, disertai persoalan dan penyesuaian dengan lingkungan baru. Tetapi Bu Suci tidak menganggap itu sebagai kesulitan yang tidak dapat diatasi. Hal itu  hanyalah salah satu dari sekian banyak ramuan yang membumbui kehidupan.
            Bu Suci berencana membentuk menunjukkan teori bejana berhubungan di kelasnya. Bu Suci membentuk kelompok-kelompok untuk bekerja sama. Setelah Bu Suci menggambarkan modelnya di papan tulis, memaparkan keterangan sesuai dengan kemampuan pengertian anak-anak didiknya, setiap kelompok ditugaskan membuat alat yang sama. Bu Suci menganjurkan supaya anak-anak didiknya tidak mengeluarkan biaya. Hari pengumpulan tiba, hanya kelompok Waskito yang hasilnya sangat memuaskan dan hasilnya disimpan di ruang keterampilan untuk dijadikan teladan. Kini Bu Suci mengetahui bahwa Waskito memang terampil.
            Hampir tiga bulan Bu Suci bekerja, keadaan dapat dikatakan tenang. Tiba-tiba keadaan berubah. Guru-guru sedang beristirahat di kantor, menunggu lonceng masuk kembali. Seorang murid Bu Suci terengah-engah datang dan berseru bahwa Waskito kambuh mengamuk dan mencoba membakar kelas. Sekali pandang Bu Suci mengetahui bahwa Waskito kaget oleh kedatangan Kepala Sekolah. Tanpa berpikir panjang tiga atau empat langkah Bu Suci bergegas mendahului Kepala Sekolah, gunting yang ada di tangan Waskito langsung direbut oleh Bu Suci. Dan langsung berbalik, memberikan gunting kepada Kepala Sekolah yang telah berada di samping Bu Suci. Tanpa sesuatu kata, Bu Suci merangkulkan lengan ke pundak Waskito. Segera setelah didorong, Bu Suci mengajak Waskito keluar menuju ke kantor.
            Peristiwa itu menggoncangkan kepercayaan sekolah kepada Waskito. Terus terang banyak rekan guru yang mengusulkan agar Waskito dikeluarkan saja. Dengan susah payah Bu Suci mempertahankan Waskito dan meminta waktu satu bulan untuk merubah Waskito.  Sejak kejadian yang disebut “kecelakaan” oleh murid-murid. Dalam kesibukan apa pun, Bu Suci selalu minta bantuan Waskito. Bu Suci tidak dapat lagi mempertahankan kebiasaan lamanya memisahkan kehidupan keluarga dari sekolah. Atau sebaliknya.
            Bu Suci berhasil mengetahui bahwa Waskito sangat suka memancing. Bu Suci pun berjanji apabila Waskito naik kelas, Bu Suci akan membawa dia ke kota kecil Purwodadi. Di sana  banyak sungai yang berair jernih. Sehingga, Waskito dapat memancing sepuasnya. Waskito dibawa Bu Suci pulang ke rumahnya. Bu De-nya sepakat membiarkan kemenakannya tinggal hingga sore bersama keluarga Bu Suci. Waskito pun mulai dekat dengan anak kedua dan suami Bu Suci. Tanpa diusulkan, suami Bu Suci meminta Waskito untuk datang lagi . waskito pun menyanggupinya, akan datang hari Minggu berikutnya. Semua kemajuan ke arah perbaikan kebiasaan atau sifat Waskito disampaikan Bu Suci kepada Kepala Sekolah. Semua kejadian yang bersangkutan dengan Waskito diceritakan Bu Suci kepada rekan-rekan guru.
            Dalam pelajaran keterampilan, Bu Suci menyiapkan murid-murid mengerjakan beberapa pilihan. Di antaranya, pada waktu-wajtu tertentu mereka diarahkan ke cocok tanam oleh Bu Suci. Bu Suci hanya ingin menunjukkan kepada anak didiknya bagaimana alam menumbuhkan sebuah biji menjadi batang dan daun dengan bentuk serta ukuran beraneka ragam. Hari itu lonceng sudah agak lama dibunyikan, tetapi Bu Suci belum selesai dalam salah satu rundingan di kantor. Ketika akhirnya Bu Suci berjalan menuju ke kelas, Wahyudi mencegat Bu Suci. Dia hanya mengatakan Waskito yang membuat jantung Bu Suci berdebar. Sampai di kelas, Bu Suci melihat kaleng-kaleng yang tidak hanya dibanting, melainkan diinjak-injak. Penyot ringsek bekas sepatu dan tindihan berat badan! Dalam hati Bu Suci berkata untunglah kaleng dan tanaman yang dihancurkan bukan murid lain yang dipukul atau diinjak ayau dicekik.
            Suasana kelas tenang, tetapi tegang.aku merasa anak didikku khawatir. Bu Suci pun melarang anak didikku yang ingin membersihkan tebaran tanah serta kaleng.mereka menurut dan mundur teratur. Di pintu Bu Suci sudah melihat Waskito duduk di pinggir selokan, di arah depan kelas-kelas termuda. Bu Suci mendekati Waskito dan bertanya mengapa dia disitu. Dan tanpa menunggu jawaban, Bu Suci menyentuh tangannya, dan menarik dia agar berdiri. Waskito menurut, tangannya tetap di dalam genggaman dan Waskito dibawa Bu Suci menuju kantor. Bu Suci pun berhasil menenangkan Waskito dan akhirnya Bu Suci membawa Waskito kembali ke kelas untuk sama-sama dengan murid-murid lainnya membersihkan lantai dengan tanah yang berserakan. Kejadian itu merupakan tambahan yang melengkapi pertemuan hati Waskito dan Bu Suci. Akhir tahun pelajaran, Waskito naik kelas. Bu Suci pun menepati janjinya yang akan membawa Waskito ke kampung halamannya di Purwodadi.
D.    Unsur-Unsur
1. Unsur Intrinsik
a.      Tema                            : Perjuangan seorang wanita dalam membagi peran antara                    keluarga dan profesinya sebagai seorang guru yang                                                      mampu mengubah karakter seorang siswa sukar.
b.      Tokoh dan penokohan                        
1.      Bu Suci
Baik, penyayang, perhatian, sabar, bijaksana, taat beragama, berbakti kepada orang tua.
“Dan sekali lagi aku menuruti nasehat mereka (orang tuaku).”
2.      Waskito
Agresif, sering memukuli temannya, emosional, sulit bergaul dengan orang lain karena sifatnya yang kadang berubah-ubah, butuh perhatian dan bimbingan lebih dari orang tuanya.
“Waskito jahat atau nakal, saya tidak tahu, Bu! Tapi dia mempunyai kelainan. Suka memukul! Menyakiti siapa saja!”
3.      Suami Bu Suci
Baik, penyayang, perhatian, tegas, bertanggung jawab, pekerja keras.
“Dia berjanji akan mengambil cuti mendekati waktu-waktu Lebaran kelak. Selain itu, dia juga harus membuat rak buku.”
4.      Anak pertama Bu Suci
Lembut, baik, penurut pada orang tua, capat mengerti, gemar membaca buku.
“Kami berterima kasih kepada Tuhan karena dikaruiai anak pertama yang lembut dan cepat mengerti.”
5.      Anak kedua Bu Suci
Terampil
“Saat di Taman Kanak-Kanak menunjukkan keterampilan jari-jarinya.”
6.      Anak ketiga Bu Suci
7.      Bu De Waskito
Baik, perhatian dan peduli pada anak-anaknya dan juga pada Waskito.
“Kakak perempuan ibunya yang biasa dipanggil Bu De, ingin mengambil Waskito, meskipun anaknya sendiri tujuh orang.”
8.      Kepala Sekolah
Tegas, bijaksana, berwibawa
“Untuk pelajaran pertama hari itu, Kepala Sekolah menuruti jadwal. Dia member pelajaran PMP di kelas tiga yang satu.”
9.      Uwak              
Baik, perhatian kepada anak Bu Suci, percaya akan adanya takhyul.
“Dia masih merasa lebih aman menyandarkan diri pada ajaran keluar yang bersifat takhyul.”           
10.  Murid-murid SD Semarang
Patuh dan penurut kepada guru.
“Kukira kedua anak itu tetap tidak mengerti maksudku, namun menutut, mundur teratur.”
c.      Latar
Latar tempat :             
1.      Rumah
“Sambil menunggu surat pengangkatan kepindahan kerja, aku tinggal di rumah.”
2.      Ruang kelas
“Kembali dari mengantar Kepala Sekolah ke pintu, aku berdiri menghadapi isi kelas.”
Kantor guru
“Hari itu lonceng sudah agaak lama dibunyikan, tetapi aku belum selesai dalam salah satu rundingan di kantor.”
3.      Rumah Sakit
“Dua hari terakhir, aku berturut-turut ke dokter perusahaan dan ke rumah sakit.”
4.      Rumah kakek dan nenek Waskito
“Pada suatu sore yang telah ditentukan, aku berkunjung ke rumah kakek dan nenek tersebut.”

Latar suasana :
1.      Tegang
“Suasana kelas tenang, tetapi tegang.”
2.      Plinplan
“Pantaskah aku mengabaikan Waskito yang berarti aku mengingkari tugas dalam karirku?”
3.      Bersyukur
“Kami berterima kasih kepada Tuhan karena dikaruniai anak pertama yang lembut dan cepat mengerti.”

Latar waktu :
1.      Pagi hari
“Pagi itu udara cerah.”
2.      Sore hari
“Pada suatu sore yang telah ditentukan, aku berkunjung ke rumah kakek dan nenek tersebut.”
3.      Tengah malam hari
“Di tengah malam aku terjaga berkali-kali, aku tetap tidak dapat tidur nyenyak.”
d.      Alur                                        : Maju
e.       Sudut pandang                        : Orang pertama
“Aku bercita-cita menjadi seorang sekretaris.”
f.       Amanat                       
1.      Sesibuk-sibuknya orang tua, harusnya meluangkan waktu kepada anak-anaknya dan memberikan perhatian serta bimbingan yang membantu perkembangan anak.
2.       Kita harus mendengarkan dan menerima pendapat orang lain.
3.      Jangan melampiaskan kemarahan atau emosi kepada orang lain di sekitar kita yang dapat membahayakan orang tersebut.
4.      Jangan memandang remeh seseorang dan hanya melihat dari sisi buruknya.
5.      Berusahalah mengendalikan diri ketika hati sedang kesal. Sebelum kemarahan semakin besar lebih baik pergi menghindar. Mengalah tidak berarti kalah. Biarlah orang lain mengganggap kita pengecut. Tetapi diri kita tahu betul bahwa kita menghindari pertikaian dan kekerasan.
g.      Gaya bahasa               
Dalam novel ini banyak digunakan kata-kata istimewa, yaitu sukar, konon, sekoyong-koyong, pelosok. Novel ini juga mengandung gaya bahasa metanomia misalnya “Kepunyaan kami adalah Honda Bebek.”, ”Orang tidak pernah mengetakan akan naik bemo, melainkan “akan naik Daihatsu”, “Selama bulan-bulan pertama, anakku harus makan pil Dilatin.” Novel ini juga mengandung gaya bahasa metafora misalnya “Orang tua itu kuanggap sebagai mata rantai yang menghubungkan anak-anak ke masa yang hampir silam”  Novel ini juga mengandung gaya bahasa hiperbola misalnya “Dengan sekali gerak, guru-guru lelaki dan aku berlarian menuju kelasku. Aku ketinggalan, kehilangan nafas sempat bertanya kepada murid si pembawa berita.”
 
2. Unsur Ekstrinsik
a.       Nilai Moral
Anak-anak tumbuh tidak hanya memerlukan makanan. Mereka juga membutuhkan kemesraan, menginginkan perhatian. Rasa cinta kepada mereka yang diperlihatkan, menanamkan benih kekuatan tersendiri yang bisa menumbuhkan kepercayaan diri untuk mengokohkan sifat kepribadian yang baik.
b.      Nilai Sosial
Hubungan antara guru dan murid tidak sebatas hanya dengan menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh program pendidikan, melainkan harus ada keterikatan seperti hubungan orang tua dan anak agar murid dapat bersosialisasi dengan baik terhadap lingkungan sekitarnya.
c.       Nilai Budaya
Seorang suami juga harus bisa mendengarkan dan menerima pendapat istri terutama dalam urusan membimbing atau mendidik anak.
E.     Kelebihan
            Novel ini sangat mudah dipahami sehingga kita lebih mudah mengerti maksud dan tujuan yang ingin disampaikan oleh si pembaca. Selain itu, novel ini juga terkandung banyak gaya bahasa. Novel ini sangat cocok dibaca bagi orang banyak karena di dalam novel ini banyak pesan-pesan penting yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
F.      Kekurangan
            Novel ini banyak menggunakan kata tidak baku, seperti : modern menjadi moderen, nasihat menjadi nasehat, berubah menjadi berobah. Novel ini juga terdapat kesalahan penulisan kata bertanggung jawab menjadi bertanggungjawab.
G.    Penutup
            Novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini mengajarkan kita untuk menjadi seseorang yang sabar dan tabah dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan berbagai masalah. Kunci utama dalam menyelesaikan masalah, yaitu kita harus percaya dan yakin bahwa Tuhan akan turut serta dalam segala masalah kita. Novel ini juga sangat cocok dibaca oleh kalangan orang tua agar para orang tua mengerti bahwa setiap anak membutuhkan perhatian dan kasih sayang, terutama pada tahap perkembangan mental dan emosi anak.
Sumber
Dini, Nh. 2003. Pertemuan Dua Hati. Jakarta : Gramedia.
Wikipedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar