Resensi
Novel Pertemuan Dua Hati
Nh.
Dini
http:/ /www.ilmubahasa.net/2015/01/cerita-novel-online-pertemuan-dua-hati.html
A. Identitas
Buku :
a.
Judul : Pertemuan
Dua hati
b.
Penulis : Nh. Dini
c.
Tahun Terbit : 2003
d.
Kota Terbit : Jakartara
B. Kepengarangan
:
Nh. Dini seorang sastrawan, novelis,
dan feminis Indonesia yang lahir pada tanggal 29 Februari 1936 di Kota
Semarang, Jawa Tengah. Beliau terlahir dari pasangan Saljowidjoo dan Kusaminah.
Ia anak bungsu dari lima bersaudara. Nh. Dini mengatakan Ia mulai tertarik
untuk menulis semenjak kelas tiga SD dan ternyata Ia sebelumnya tidak
bercita-cita sebagai penulis melainkan Ia bercita-cita menjadi seorang sopir
lokomotif atau masinis. Tetapi keinginannya tidak kesampaian karena tidak
menemukan sekolah bagi calon masinis kereta api. Setelah Ia tamat dari SMA
bagian Sastra pada tahun 1956. Pada tahun 1956, Ia mengikuti Kursus Pramugari
Darat GIA Jakarta dan pada tahun 1957, Ia mengikuti Kursus B-I Jurusan Sejarah.
Tahun 1957-1960, Ia bekerja di GIA Kemayoran, Jakarta. Setelah Beliau menikah
dengan suaminya, Yves Coffin, Ia berturut-turut bermukim di Jepang, Perancis,
Amerika Serikat, dan menetap di Jakarta dan Semarang sejak tahun 1980.
C. Sinopsis
:
Beberapa bulan yang lalu, sebuah
keluarga Purmodadi yang terdiri dari Bu Suci, suaminya, tiga orang anak, dan
bibinya dipindahkah ke kota besar Semarang karena suaminya dipindah tugaskan.
Sehingga, mau tidak mau Bu Suci juga meninggalkan pekerjaannya sebagai guru di
Purwodadi. Pekerjaan menjadi seorang guru bukanlah pilihan Bu Suci melainkan
pilihan orang tuanya. Walaupun begitu Bu Suci tidak menyesal telah menuruti
keinginan orang tuanya. Bu Suci malahan sangat menyukai karirnya sebagai
seorang guru. Karena setiap hari Ia bisa berhadapan dengan anak-anak yang
berlainan watak dan geraknya.
Pada suatu hari Bu Suci menerima
surat dari Kepala Sekolah tempat anaknya bersekolah. Bu suci diminta datang ke
sekolah. Kepala Sekolah memberitahu bahwa Bu Suci akan membimbing dua kelas
tiga yang keduanya dihubungkan oleh sebuah pintu samping. Untuk sementara waktu
Bu Suci mengajar pagi sambil menunggu perkembangan. Dan memang kelas itulah
yang menjadi tanggung jawab Bu Suci setelah guru-guru pulang dari penataran.
Hari pertama mengajar Bu Suci
memperkenalkan diri kepada murid-murid. Agar suasana menjadi lebih santai, Bu
Suci menceritakan sedikit tentang karirnya sebagai guru. Bu Suci juga
mengatakan berapa anaknya dan apa pekerjaan suaminya, tidak lupa juga Ia mengatakan
bahwa anaknya juga bersekolah di sekolah tersebut. Berangsur-angsur keadaan
menjadi sedikit lebih santai, Bu Suci membuka buku daftar nama. Bu suci
memanggil seorang demi seorang. Untuk memudahkan mengingat, di samping setiap
nama murid Ia member tanda. Ada lima deretan bangku memanjang. Dihitungnya
nomor satu dari kiri ke kanan. Misalnya nama rusidah ditandai dengan pensil
tulisan 3-te. Artinya, murid itu duduk di deretan bangku ke-3 di kelompok
tengah.
Hari demi hari pun berlalu,
nama-nama murid pun mulai dikenal. Bahkan beberapa murid sudah dihafal tempat
duduknya oleh Bu Suci. Hari itu murid yang bernama Waskito belum juga masuk
semenjak dia mengajar kelas tersebut. Bu Suci pun bertanya kepada murid-murid
di kelas itu dimana Waskito tinggal. Tetapi tidak ada yang menyahut. Setiap
murid yang ditanya dimana tempat tinggal Waskito, semuanya menghindari pandangan
Bu Suci yang membuat Ia semakin heran. Dan pada akhirnya ada siswa yang
mengatakan bahwa Waskito adalah seorang anak nakal yang suka memukul dan
menyakiti murid lainnya.
Selama beberapa waktu Bu Suci
membiarkan murid-muridnya berbincang antara mereka. Bu Suci mendengarkan dan
mencoba mengerti. Kepala Sekolah atau guru lain yang pernah memegang kelas itu
tidak memberitahukan perihal tentang murid sukar di kelas tersebut. Waktu
istirahat tiba, Bu Suci mencari keterangan selengkap mungkin. Guru-guru yang
pernah mengajar kelas itu mengetahui sedikit. Waskito memang dianggap sebagai
anak yang tidak tetap, atau labil. Sifatnya selalu berubah.
Bu Suci berusaha sedapat mungkin
untuk memisahkan pekerjaan dari kehidupan keluarga. Tetapi kali itu sangat
sulit baginya meneruskan kebiasaan tersebut. Barangkali karena Bu Suci merasa
lemah menolak tantangan guna mencoba sesuatu yang baru. Mengikuti keterangan guru-guru
yang mengenal Waskito, anak itu termasuk murid sukar jenis yang lain.
Kekerasan-kekerasannya dapat membahayakan kelas.
Urusan murid sukar belum selesai, Bu
Suci harus memilih. Manakah yang lebih penting? Sepintas, tentu saja Bu Suci
mementingkan anaknya daripada muridnya. Tetapi benarkah sikap itu? Benarkah
pilihan itu ditekankan oleh suara hatinya yang sesungguhnya. Tarikan Waskito
sedemikian besar bagi Bu Suci, karena jauh di lubuk hatinya, Ia menyadari bahwa
Ia harus mencoba menolong anak itu. Demi meyelamatkan seorang calon anggota
masyarakat. Pantaskah Ia mengabaikan Waskito, yang berarti Ia mengingkari tugas
dalam karirnya? Akhirnya Bu Suci memilih anak dan murid, bukan anak atau murid.
Bu Suci pun meminta kepada Tuhan, agar diberi kesempatan mencoba mencakup
tugasnya di dua bidang. Sebagai ibu dan sebagai guru.
Konon dalam keluarga Waskito terjadi
perundingan. Tidak jelas bagaimana asal-usulnya., atau siapa yang mengusulkan
pertemuan tersebut. Yang sangat menyenangkan hati Bu Suci ialah kali itu
kabarnya, anak yang bersangkutan ditanya apa kemauannya. Kakak perempuan ibunya
yang biasa dipanggil Bu De, ingin mengambil Waskito, meskipun anaknya sendiri
tujuh orang.
Bu
Suci mencoba membuka hati anak-anak didiknya agar rela menerima Waskito jika
dia kembali ke sekolah. Bersama mereka Bu Suci mencari dan meneliti sebab-sebab
mengapa Waskito paling membenci murid yang bernama Wahyudi dan tiga atau empat
anak tertentu. Bu Suci pun bertanya tentang kebiasaan-kebiasaan mereka setiap
hari, dari waktu masuk hingga pulang. Bagaimana dan naik apa , bersama siapa
mereka datang dan beraangkat kembali ke rumah masing-masing. Lalu Bu Suci dan
anak-anak didiknya menemukan mengapa Waskito berbuat demikian. Waskito tidak
mau menerima kenyataan bahwa anak-anak lain memiliki bapak yang memperhatikan,
yang menyisihkan waktu, sampai-sampai membawa mereka di belakang kendaraan roda
dua hingga pintu sekolah. Sedangkan dia, Waskito, yang mempunyai ayah seorang
insinyur dan berkendaraan sedan, mengapa tidak pernah pergi ke sekolah
bersamanya? Waskito dan adik-adiknya selalu dititipkan kepada sopir. Selalu
disuruh berangkat lebih dahulu.
Alangkah besar penderitaan batin
Waskito. Bu Suci mencoba meyakinkan anak-anak didiknya bahwa jauh di lunuk
hatinya, Waskito tidak membenci, seperti yang selalu dia katakana. Yang
sebenarnya ialah dia merasa iri. Cara sebaiknya barangkali ialah dengan
bersikap sebiasa mungkin. Menganggap kehadiran Waskito bukan sesuatu yang
menyebalkan, tetapi juga bukan sesuatu yang istimewa.
Demikian sebulan berlangsung. Bu
Suci dapat tabah mengalami loncatan-loncatan kebiasaan Waskito yang
sekali-sekali tenang, di lain saat, berturut-turut hingga beberapa hari
mengganggu murid-murid lain. Demikian Bu Suci meneruskan pekerjaannya sebagai
guru. Kali itu di kota besar, disertai persoalan dan penyesuaian dengan
lingkungan baru. Tetapi Bu Suci tidak menganggap itu sebagai kesulitan yang
tidak dapat diatasi. Hal itu hanyalah
salah satu dari sekian banyak ramuan yang membumbui kehidupan.
Bu Suci berencana membentuk
menunjukkan teori bejana berhubungan di kelasnya. Bu Suci membentuk
kelompok-kelompok untuk bekerja sama. Setelah Bu Suci menggambarkan modelnya di
papan tulis, memaparkan keterangan sesuai dengan kemampuan pengertian anak-anak
didiknya, setiap kelompok ditugaskan membuat alat yang sama. Bu Suci
menganjurkan supaya anak-anak didiknya tidak mengeluarkan biaya. Hari
pengumpulan tiba, hanya kelompok Waskito yang hasilnya sangat memuaskan dan
hasilnya disimpan di ruang keterampilan untuk dijadikan teladan. Kini Bu Suci
mengetahui bahwa Waskito memang terampil.
Hampir tiga bulan Bu Suci bekerja,
keadaan dapat dikatakan tenang. Tiba-tiba keadaan berubah. Guru-guru sedang
beristirahat di kantor, menunggu lonceng masuk kembali. Seorang murid Bu Suci
terengah-engah datang dan berseru bahwa Waskito kambuh mengamuk dan mencoba
membakar kelas. Sekali pandang Bu Suci mengetahui bahwa Waskito kaget oleh
kedatangan Kepala Sekolah. Tanpa berpikir panjang tiga atau empat langkah Bu
Suci bergegas mendahului Kepala Sekolah, gunting yang ada di tangan Waskito
langsung direbut oleh Bu Suci. Dan langsung berbalik, memberikan gunting kepada
Kepala Sekolah yang telah berada di samping Bu Suci. Tanpa sesuatu kata, Bu
Suci merangkulkan lengan ke pundak Waskito. Segera setelah didorong, Bu Suci
mengajak Waskito keluar menuju ke kantor.
Peristiwa itu menggoncangkan
kepercayaan sekolah kepada Waskito. Terus terang banyak rekan guru yang
mengusulkan agar Waskito dikeluarkan saja. Dengan susah payah Bu Suci
mempertahankan Waskito dan meminta waktu satu bulan untuk merubah Waskito. Sejak kejadian yang disebut “kecelakaan” oleh
murid-murid. Dalam kesibukan apa pun, Bu Suci selalu minta bantuan Waskito. Bu
Suci tidak dapat lagi mempertahankan kebiasaan lamanya memisahkan kehidupan keluarga
dari sekolah. Atau sebaliknya.
Bu Suci berhasil mengetahui bahwa
Waskito sangat suka memancing. Bu Suci pun berjanji apabila Waskito naik kelas,
Bu Suci akan membawa dia ke kota kecil Purwodadi. Di sana banyak sungai yang berair jernih. Sehingga,
Waskito dapat memancing sepuasnya. Waskito dibawa Bu Suci pulang ke rumahnya.
Bu De-nya sepakat membiarkan kemenakannya tinggal hingga sore bersama keluarga Bu
Suci. Waskito pun mulai dekat dengan anak kedua dan suami Bu Suci. Tanpa
diusulkan, suami Bu Suci meminta Waskito untuk datang lagi . waskito pun
menyanggupinya, akan datang hari Minggu berikutnya. Semua kemajuan ke arah
perbaikan kebiasaan atau sifat Waskito disampaikan Bu Suci kepada Kepala
Sekolah. Semua kejadian yang bersangkutan dengan Waskito diceritakan Bu Suci
kepada rekan-rekan guru.
Dalam pelajaran keterampilan, Bu
Suci menyiapkan murid-murid mengerjakan beberapa pilihan. Di antaranya, pada
waktu-wajtu tertentu mereka diarahkan ke cocok tanam oleh Bu Suci. Bu Suci
hanya ingin menunjukkan kepada anak didiknya bagaimana alam menumbuhkan sebuah
biji menjadi batang dan daun dengan bentuk serta ukuran beraneka ragam. Hari
itu lonceng sudah agak lama dibunyikan, tetapi Bu Suci belum selesai dalam
salah satu rundingan di kantor. Ketika akhirnya Bu Suci berjalan menuju ke
kelas, Wahyudi mencegat Bu Suci. Dia hanya mengatakan Waskito yang membuat
jantung Bu Suci berdebar. Sampai di kelas, Bu Suci melihat kaleng-kaleng yang
tidak hanya dibanting, melainkan diinjak-injak. Penyot ringsek bekas sepatu dan
tindihan berat badan! Dalam hati Bu Suci berkata untunglah kaleng dan tanaman
yang dihancurkan bukan murid lain yang dipukul atau diinjak ayau dicekik.
Suasana kelas tenang, tetapi
tegang.aku merasa anak didikku khawatir. Bu Suci pun melarang anak didikku yang
ingin membersihkan tebaran tanah serta kaleng.mereka menurut dan mundur
teratur. Di pintu Bu Suci sudah melihat Waskito duduk di pinggir selokan, di
arah depan kelas-kelas termuda. Bu Suci mendekati Waskito dan bertanya mengapa
dia disitu. Dan tanpa menunggu jawaban, Bu Suci menyentuh tangannya, dan
menarik dia agar berdiri. Waskito menurut, tangannya tetap di dalam genggaman
dan Waskito dibawa Bu Suci menuju kantor. Bu Suci pun berhasil menenangkan
Waskito dan akhirnya Bu Suci membawa Waskito kembali ke kelas untuk sama-sama
dengan murid-murid lainnya membersihkan lantai dengan tanah yang berserakan.
Kejadian itu merupakan tambahan yang melengkapi pertemuan hati Waskito dan Bu
Suci. Akhir tahun pelajaran, Waskito naik kelas. Bu Suci pun menepati janjinya
yang akan membawa Waskito ke kampung halamannya di Purwodadi.
D. Unsur-Unsur
1.
Unsur Intrinsik
a. Tema
: Perjuangan
seorang wanita dalam membagi peran antara keluarga dan profesinya sebagai seorang guru
yang mampu mengubah karakter seorang siswa sukar.
b. Tokoh
dan penokohan
1. Bu
Suci
Baik, penyayang, perhatian,
sabar, bijaksana, taat beragama, berbakti kepada orang tua.
“Dan sekali lagi aku menuruti nasehat mereka (orang
tuaku).”
2. Waskito
Agresif, sering
memukuli temannya, emosional, sulit bergaul dengan orang lain karena sifatnya
yang kadang berubah-ubah, butuh perhatian dan bimbingan lebih dari orang
tuanya.
“Waskito jahat
atau nakal, saya tidak tahu, Bu! Tapi dia mempunyai kelainan. Suka memukul!
Menyakiti siapa saja!”
3. Suami
Bu Suci
Baik, penyayang,
perhatian, tegas, bertanggung jawab, pekerja keras.
“Dia berjanji
akan mengambil cuti mendekati waktu-waktu Lebaran kelak. Selain itu, dia juga
harus membuat rak buku.”
4. Anak
pertama Bu Suci
Lembut, baik, penurut
pada orang tua, capat mengerti, gemar membaca buku.
“Kami berterima
kasih kepada Tuhan karena dikaruiai anak pertama yang lembut dan cepat
mengerti.”
5. Anak
kedua Bu Suci
Terampil
“Saat di Taman
Kanak-Kanak menunjukkan keterampilan jari-jarinya.”
6. Anak
ketiga Bu Suci
7. Bu
De Waskito
Baik, perhatian dan
peduli pada anak-anaknya dan juga pada Waskito.
“Kakak perempuan
ibunya yang biasa dipanggil Bu De, ingin mengambil Waskito, meskipun anaknya
sendiri tujuh orang.”
8. Kepala
Sekolah
Tegas, bijaksana,
berwibawa
“Untuk pelajaran
pertama hari itu, Kepala Sekolah menuruti jadwal. Dia member pelajaran PMP di
kelas tiga yang satu.”
9. Uwak
Baik, perhatian kepada
anak Bu Suci, percaya akan adanya takhyul.
“Dia masih
merasa lebih aman menyandarkan diri pada ajaran keluar yang bersifat takhyul.”
10. Murid-murid
SD Semarang
Patuh dan penurut
kepada guru.
“Kukira kedua
anak itu tetap tidak mengerti maksudku, namun menutut, mundur teratur.”
c. Latar
Latar tempat :
1. Rumah
“Sambil menunggu
surat pengangkatan kepindahan kerja, aku tinggal di rumah.”
2. Ruang
kelas
“Kembali dari
mengantar Kepala Sekolah ke pintu, aku berdiri menghadapi isi kelas.”
Kantor guru
“Hari itu
lonceng sudah agaak lama dibunyikan, tetapi aku belum selesai dalam salah satu
rundingan di kantor.”
3. Rumah
Sakit
“Dua hari
terakhir, aku berturut-turut ke dokter perusahaan dan ke rumah sakit.”
4. Rumah
kakek dan nenek Waskito
“Pada suatu sore
yang telah ditentukan, aku berkunjung ke rumah kakek dan nenek tersebut.”
Latar suasana :
1. Tegang
“Suasana kelas
tenang, tetapi tegang.”
2. Plinplan
“Pantaskah aku
mengabaikan Waskito yang berarti aku mengingkari tugas dalam karirku?”
3. Bersyukur
“Kami berterima
kasih kepada Tuhan karena dikaruniai anak pertama yang lembut dan cepat
mengerti.”
Latar waktu :
1. Pagi
hari
“Pagi itu udara
cerah.”
2. Sore
hari
“Pada suatu sore
yang telah ditentukan, aku berkunjung ke rumah kakek dan nenek tersebut.”
3. Tengah
malam hari
“Di tengah malam
aku terjaga berkali-kali, aku tetap tidak dapat tidur nyenyak.”
d. Alur : Maju
e. Sudut
pandang : Orang
pertama
“Aku
bercita-cita menjadi seorang sekretaris.”
f. Amanat
1. Sesibuk-sibuknya
orang tua, harusnya meluangkan waktu kepada anak-anaknya dan memberikan
perhatian serta bimbingan yang membantu perkembangan anak.
2. Kita harus mendengarkan dan menerima pendapat orang
lain.
3. Jangan
melampiaskan kemarahan atau emosi kepada orang lain di sekitar kita yang dapat
membahayakan orang tersebut.
4. Jangan
memandang remeh seseorang dan hanya melihat dari sisi buruknya.
5. Berusahalah
mengendalikan diri ketika hati sedang kesal. Sebelum kemarahan semakin besar
lebih baik pergi menghindar. Mengalah tidak berarti kalah. Biarlah orang lain
mengganggap kita pengecut. Tetapi diri kita tahu betul bahwa kita menghindari
pertikaian dan kekerasan.
g. Gaya
bahasa
Dalam novel ini banyak
digunakan kata-kata istimewa, yaitu sukar, konon, sekoyong-koyong, pelosok.
Novel ini juga mengandung gaya bahasa metanomia misalnya “Kepunyaan kami adalah Honda Bebek.”, ”Orang tidak pernah mengetakan akan naik bemo, melainkan “akan naik
Daihatsu”, “Selama bulan-bulan
pertama, anakku harus makan pil Dilatin.” Novel ini juga mengandung gaya
bahasa metafora misalnya “Orang tua itu
kuanggap sebagai mata rantai yang menghubungkan anak-anak ke masa yang hampir
silam” Novel ini juga mengandung gaya
bahasa hiperbola misalnya “Dengan sekali
gerak, guru-guru lelaki dan aku berlarian menuju kelasku. Aku ketinggalan,
kehilangan nafas sempat bertanya kepada murid si pembawa berita.”
2.
Unsur Ekstrinsik
a. Nilai
Moral
Anak-anak tumbuh tidak
hanya memerlukan makanan. Mereka juga membutuhkan kemesraan, menginginkan
perhatian. Rasa cinta kepada mereka yang diperlihatkan, menanamkan benih
kekuatan tersendiri yang bisa menumbuhkan kepercayaan diri untuk mengokohkan
sifat kepribadian yang baik.
b. Nilai
Sosial
Hubungan antara guru
dan murid tidak sebatas hanya dengan menyampaikan materi pelajaran sesuai
dengan aturan yang telah ditetapkan oleh program pendidikan, melainkan harus
ada keterikatan seperti hubungan orang tua dan anak agar murid dapat
bersosialisasi dengan baik terhadap lingkungan sekitarnya.
c. Nilai
Budaya
Seorang suami juga
harus bisa mendengarkan dan menerima pendapat istri terutama dalam urusan
membimbing atau mendidik anak.
E. Kelebihan
Novel ini sangat mudah dipahami
sehingga kita lebih mudah mengerti maksud dan tujuan yang ingin disampaikan
oleh si pembaca. Selain itu, novel ini juga terkandung banyak gaya bahasa.
Novel ini sangat cocok dibaca bagi orang banyak karena di dalam novel ini
banyak pesan-pesan penting yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
F. Kekurangan
Novel ini banyak menggunakan kata
tidak baku, seperti : modern menjadi moderen, nasihat menjadi nasehat, berubah menjadi berobah. Novel ini juga terdapat kesalahan penulisan kata bertanggung jawab menjadi bertanggungjawab.
G. Penutup
Novel Pertemuan Dua Hati karya Nh.
Dini mengajarkan kita untuk menjadi seseorang yang sabar dan tabah dalam
menjalani kehidupan yang penuh dengan berbagai masalah. Kunci utama dalam
menyelesaikan masalah, yaitu kita harus percaya dan yakin bahwa Tuhan akan
turut serta dalam segala masalah kita. Novel ini juga sangat cocok dibaca oleh
kalangan orang tua agar para orang tua mengerti bahwa setiap anak membutuhkan
perhatian dan kasih sayang, terutama pada tahap perkembangan mental dan emosi
anak.
Sumber
Dini, Nh. 2003. Pertemuan
Dua Hati. Jakarta : Gramedia.
Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar